SETELAH Willy Ana berbicara tentang Festival Sastra Bengkulu di Festival Sastra Gunung Bintan di Tanjungpinang, 26 September 2024, ada beberapa pertanyaan kepada saya: bagaimana sih awalnya muncul ide FSB? Bagaimana keterlibatan saya (Mustafa Ismail) di FSB dan siapa sebetulnya konseptor dan siapa saja yang berperan mewujudkannya. Penjelasan dalam diskusi itu terkesan bahwa Festival Sastra Bengkulu adalah karya Willy Ana sendiri, idenya sendiri, dikerjakan sendiri, tanpa orang lain di belakangnya.
Baiklah, saya jelaskan seringkas mungkin dulu. Kapan-kapan saya akan menuliskannya detil. Jika ada yang hal yang tidak tersampaikan atau keliru, WIlly Ana bisa langsung mengkoreksinya di bagian komentar atau dengan membuat klarifikasi khusus. Begitu pula nama-nama yang akan saya sebut di bawah juga bisa mengoreksi jika ada hal yang keliru. Ini penting agar riwayat FSB jadi lebih jelas dan valid. Sebab, FSB bagian dari sejarah sastra pula. Semoga penjelasan ini menjadi pelengkap terhadap apa yang telah disampaikan Willy Ana di forum tersebut.
Satu hal yang penting dicatat: FSB tidak terinspirasi dari festival mana pun. Juga sama sekali tidak terinspirasi dari Festival Sastra Gunung Bintan, yang digerakkan Rida K. Liamsi dkk, seperti disampaikan Willy Ana dalam forum itu. FSB berbeda dengan festival-festival lainnya. Pembuat konsep FSB adalah saya, baru kemudian kami diskusi dengan tim inti lainnya, Willy Ana dan Iwan Kurniawan.
Sejak awal saya sampaikan ke Willy Ana FSB harus membuat sesuatu yang relatif berbeda dengan festival sastra yang ada. Salah satunya, saya tekankan agar seleksi karya dilakukan dengan baik, tidak mengejar jumlah (kuantitas) peserta, tapi kualitas. Saya menolak festival sastra yang sekedar jadi ajang selfie dan hore-hore. Maka saya katakan kepada Saudari Willy Ana, "Kita harus bikin festival sastra yang berbeda."
Awalnya adalah karena kami sering bertemu dalam acara sastra. Lalu kami mengurus penerbitan indie Imaji Indonesia. Suatu kali saya katakan, "Bengkulu perlu bikin festival sastra. Sebab, selama ini belum ada acara sastra besar di Bengkulu." Saudara Willy Ana waktu itu menyambut dengan bersemangat: "Memang bisa bang?" Saya yakin menjawab: "Pasti bisa."
Maka mulailah saya membuat konsep, lalu mendiskusikannya bersama Willy Ana. Kami sepakat memakai bendera Imaji Indonesia, lembaga yang saya dirikan. Setelah itu, saya memperkenalkan Willy Ana kepada Iwan Kurniawan, yang biasa kami sapa Iwank. Saya bilang ke Willy Ana: "Kita perlu mengajak orang Bengkulu lainnya, yakni Iwank." Kebetulan Iwank satu kantor dengan saya.
Maka jadilah kemudian kami bertemu Iwank. Dia pun bersemangat. Kebetulan Iwank pun penulis sastra, meskipun tidak produktif. Iwank lalu mengusulkan untuk mengajak sastrawan Hudan Hidayat. Namun belakangan karena Saudara Hudan sibuk dan sulit berbagi waktu, maka ia tidak lagi turut serta dalam tim ini.
Jadi tim inti itu akhirnya bertiga: Willy Ana, saya, dan Iwank. Iwank lebih berperan sebagai SC atau semacam tim kreatif. Sementara saya, selain sebagai tim kreatif, juga ikut menjadi "operator" bersama Willy Ana yang kami daulat sebagai ketua. Sebetulnya ketua itu hanya simbolik, karena semua kami kerjakan bersama-sama.
Kami bagi tugas, Willy Ana membuka jaringan ke Bengkulu, dan saya membuka jaringan di Jakarta, termasuk menjajaki kemungkinan kerjasama dengan sejumlah pihak, sponsor swasta dan lembaga pemerintah. Iwank juga ikut bergerak membuka jaringan yang dia punya.
Saya juga mengenalkan Willy kepada banyak orang, termasuk para sastrawan senior, demi membuka jaringan. Sebab, kami akan bekerjasama dan/atau mengundang mereka. Selanjutnya, kami mengajak penyair Pilo Poly untuk ikut membantu.
Jadi ada kalanya kami bertiga dengan Pilo Poly, misalnya untuk sosisalisasi pada sebuah acara warga Bengkulu di Jakarta yang dihadiri oleh Sekda Prov Bengkulu. Lain waktu, kami bertiga dengan Iwank. Sesekali kami berempat sekaligus.
Namun paling sering hanya saya dan Willy Ana yang duduk dari satu warung kopi ke warung kopi lain untuk bisa buka laptop demi menyiapkan kebutuhan acara. Mulai dari bikin surat, mendesain proposal yang menarik, bikin poster, materi publikasi, skenario acara, tim kurator, hingga mendiskusikan pembentukan tim panitia lokal di Bengkulu.
Tim kurator FSB 2018 adalah Ahmadun Y Herfanda, Iwan Kurniawan, dan saya. Kala itu kami menerbitkan buku puisi “Jejak Cinta di Bumi Raflesia”. Buku itu berisi puisi penyair Indonesia dan negeri tetangga. Tema puisi tentang Fatmawati dan Sukarno. Semua kami siapkan dari Jakarta. Saya mengerjakan sendiri layout buku, mendesain sampul, dan membawanya ke percetakan di Mega Mall Ciputat.
Singkat cerita, setelah diwarnai berbagai ketegangan -- kadang perdebatan panas karena berbeda pendapat dan cara pandang -- FSB 2018 terselenggara pada 13-15 Juli 2018. Acara itu menghadirkan sejumlah nama penting, termasuk Sutardji Calzoum Bachri. Ada pula peserta dari Singapura, yakni Rohani Dien.
Acara berlangsung meriah. Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah menjamu sastrawan dan membuka acara di Pendopo Gubernur. Gubernur memukul gong bersama Sutardji Calzoum Bachri, Willy Ana, dan tokoh Bengkulu lainnya. Willy Ana juga berpidato sebagai ketua panitia dengan memakai pakaian adat Bengkulu. Willy Ana jadi bintang dan sorot lampu kamera wartawan berbagai media malam itu.
Esoknya, acara dilanjutkan dengan seminar dan baca puisi. Lalu hari ketiga, acara ditutup di kebun teh Kepahiyang difasilitasi oleh Bupati Kepahiyang. Bupati --- yang merupakan teman ayah dari Iwan Kurniawan – juga menjamu para sastrawan makan siang seusai penutupan di tengah-tengah kebun teh di daerah sejuk itu.
Tapi tak ada yang tahu, di sela-sela kemeriahan itu kami (saya, Willy Ana, dan Iwank) bisik-bisik bagaimana membayar honor pembicara. Sebab, ada di antara mereka harus pulang sore itu ke Jakarta. Akhirnya, kami sepakati patungan. Maka, honor dua pembicara itu baru kami bayarkan dalam perjalanan mengantara mereka ke bandara.
Kami tongpes alias kantong kempes blas setelah selesai acara itu. Bahkan, untuk tiket pesawat pulang dari Bengkulu ke Jakarta pun kami tidak punya uang. Kenapa begitu? Uang dari sponsor di Bengkulu tidak masuk ke kami. Tapi ditahan oleh oknum seniman yang menjadi panitia lokal di Bengkulu. Soal ini kapan-kapan saya ceritakan rinci.
Untung ada seorang teman penyair (Mezra E Pellondou) -- juga peserta - berbaik hati membantu. Kami sangat bersyukur dan berterima kasih atas bantuan itu. Karena tidak cukup membeli tiket pesawat kami bertiga (saya, Willy Ana, dan Pilo Poly), kami memutuskan naik bus dari Bengkulu ke Jakarta. Sementara Iwank masih tinggal di Bengkulu karena masa cutinya belum habis. Kami diantar Iwank ke sebuah pol bis di Bengkulu. Sungguh tak terbayangkan, pergi naik pesawat dan pulang naik bus.
Namun dalam penjelasan Willy Ana di forum diskusi di Bintan, ia tak menyebut sekali pun peran kami (Iwank, Pilo, saya) yang menjadi ujung tombak acara. Imaji Indonesia sebagai lembaga yang menyelenggarakan acara pun tak disinggung. Justru yang terus disebut-sebut berulang kali adalah nama lain "di luar pagar" yang sama sekali tidak ada hubungan dengan FSB. Seolah-olah FSB full hasil karya Willy Ana sendiri.
MESKI kami rugi total dalam penyelenggaran FSB 2018, tapi saya dan teman-teman tidak kapok membantu Willy Ana mewujudkan FSB 2019. Setelah jeda beberapa bulan, kami mulai bergerak lagi menyiapkan FSB 2019. Saya bilang ke Willy Ana, agar FSB 2019 berbeda dengan FSB 2018. Ia setuju. Beberapa hari kemudian kami diskusi dengan Iwank, ia pun oke.
Lalu kami membentuk tim kurasi. Saya mengusulkan Iwank Kurniawan, Kurnia Effendi, dan Iyut Fitra jadi kurator. Willy Ana sempat tanya ke saya, "Kenapa Bang Mus gak ikut jadi kurator?" Saya bilang, gantianlah. "Kita jangan meniru kepanitian acara lain, dia panitia, dia kurator, dia juri, semua dia."
Kali ini ruang festival kami perluas ke penulis, bukan lagi penyair saja. Maka namanya pun menjadi Festival Sastra Bengkulu (Bengkulu Writers Festival). Timnya masih sama. Ada Willy Ana, saya, dan Iwank. Pilo tidak bisa membantu secara instens karena kesibukan pekerjaannya.
Saya pun mengusulkan agar karya terbaik diberi penghargaan dan insentif. Fokusnya, sesuai tema, pada anak muda. Kami menyampaikan kepada kurator: seleksi ketat. Tidak perduli nama. Kalau karyanya tak layak, tidak masuk buku. "Jika dia senior dan tak lolos kurasi, nanti kita undang secara khusus."
Akhirnya memang beberapa nama senior tak lolos kurasi, tapi kami masukkan dalam undangan khusus. Puisinya masuk buku dalam kategori undangan khusus. Hal itu dijelaskan dengan gamblang dalam catatan kuratorial. Termasuk memberi tempat khusus kepada puluhan penulis muda Bengkulu.
Karya-karya itu kami terbitkan dalam buku berjudul "Perjumpaan". Usulan judul datang dari salah satu kurator yakni Kurnia Effendi. Itu diambil dari salah satu karya dalam buku itu. Judul itu pun mempunyai makna bahwa FSB mempertemukan para penulis. Semua hepi dengan hasilnya.
Pelaksanaan FSB kedua ini lebih lancar. Karena kami berhasil mendapat sokongan dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), RRI (Pusat dan Bengkulu), Pemprov Bengkulu (Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah), Universitas Negeri Bengkulu, dan Djarum Fondation.
Tapi bukan berarti FSB 2019 tidak ada drama dan ketegangan. Kali ini ketegangan lebih banyak dari pihak eksternal. Beberapa hari menjelang hari H sebuah instansi vertikal tiba-tiba memutus kerjasama atas tekanan pihak tertentu di Bengkulu. Padahal setting acara sudah deal dengan instansi tersebut.
Bahkan, pihak tersebut pun mengancam akan membubarkan acara. Mereka mengumumkan hal itu secara terbuka di Facebook. Pihak terebut juga mempengaruhi pihak Univ Negeri Bengkulu, tapi tidak mempan.
Selain itu, sebelumnya, seorang pejabat penting di Bengkulu sudah menolak proposal FSB. Alasannya mereka banyak kegiatan. Namun berdasarkan informasi yang kami dapatkan pihak tertentu tersebut berusaha mempengaruhi pemprov.
Tapi kami tidak menyerah. Saya dan Willy Ana terbang ke Bengkulu khusus untuk memastikan dukungan Pemprov. Maka pagi-pagi buta, saya dan Willy Ana sudah tiba di rumah pribadi Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah.
Yang mengejutkan, Gubernur sangat mengapresiasi kerja kami. Ia tidak tahu bahwa proposal kami ditolak oleh pejabatnya. Kami pun kembali menyerahkan proposal, sekaligus meminta kesediaan Gubernur untuk menjamu para sastrawsan dan membuka acara-- sebagaimana FSB 2018. Gubernur menyambut baik.
Maka tiba waktunya pembukaan acara, gubenur pun menjamu sastrawan di pendopo dengan hidangan berlimpah. Gubernur tampak sumringah dan begitu senang dengan acara itu. Bahkan ketika berpidato, ia memuji Willy Ana yang telah berupaya menghidupkan sastra di Bengkulu dengan menghadirkan banyak sastrawan.
Tentu Gubernur tak tahu siapa orang-orang di balik suksesnya acara itu. Kami pun tak pernah mencari nama dari sana. Tidak juga bikin rilis dengan mencantumkan nama sendiri. Tidak seperti beberapa orang yang acara receh pun bikin rilis dan menulis namanya besar-besar karena memang ingin cari nama alias haus popularitas.
Bahkan beberapa bulan setelah itu, Willy Ana mendapat penghargaan sebagai Pemuda Inspirasi Bengkulu 2019. Lagi-lagi Willy Ana mendapat berkah dari kerja keras kami. Namun baru saya tahu belakangan, di materi presentasi untuk acara tersebut, ia juga tak menyingung-nyinggung peran kami. Tapi hal itu saya diamkan. Mungkin dia lupa. Maka ketika kedua kalinya (di forum Bintan) peran kami yang membuat dia besar tak dianggap, saya benar-benar kehilangan respek pada Willy Ana.
Satu hal penting saya petik dalam keterlibatan saya ikut menggagas dan menyiapkan festival sastra bengkulu bersama WIlly Ana dan kawan-kawan lain menjadi pembelajaran penting dalam mengelola acara. Meskipun, terlibat dalam acara besar bukan hal baru bagi saya. Pada 2016, saya membantu penyelenggaran Hari Puisi Indonesia dengan menjadi Sekretaris Panitia. Ketua panitianya adalah Asrizal Nur.
Sebelumnya, pada 2009, saya dan panyair Fikar W Eda pernah pula membuat acara Aceh International Literary Fesrival (AILFes). Saya bersama Fikar W Eda dan Arie F. Batubara juga menjadi tim kreatif Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) 2009. Tugas kami, membantu menyusun konsep acara festival budaya lima tahunan tersebut.
Saya juga salah satu inisiator sekaligus Sekretaris Kongres Peradaban Aceh (KPA) 2015. Adapun ketuanya DR Ahmad Farhan Hamid, wakil ketua MPR RI priode 2009-2014. Kongres itu diadakan dalam beberapa rangkaian kegiatan, hampir setahun penuh, mulai dari Jakarta hingga di Banda Aceh. Adapun acara utamanya di kampus Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, pada Desember 2015. Acara itu dibuka oleh Mendikbud kala itu, Anies Baswedan. Setelah itu diteruskan dengan sosialisasi hasilnya ke seluruh Aceh. Kami pun berkeliling Aceh pada awal 2016.
Belum lama ini, pada Kongres Peradaban Aceh (KPA) 2024 di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh pada Mei lalu, saya masih mendapat kepercayaan sebagai salah satu panitia pengarah (SC) bersama DR Ahmad Farhan Hamid, Prof DR Wildan (Rektor ISBI), Prof DR Mohd Harun, Prof DR Kamal Bustamam Ahmad, sastrawan Fikar W. Eda, dan wartawan senior Yarmen Dinamika. Kami bertugas merancang konsep Konggres Peradaban Aceh 2024.
Tapi suasananya berbeda, karena Bengkulu adalah kampung orang. Bukan Aceh, kampung saya sendiri. Bahkan, ada seniman Bengkulu yang sampai menuding-nuding lewat orang lain: "Siapa sih Mustafa Ismail itu, berani-beraninya di kampung kita. Orang Aceh ngapain ngurus sastra Bengkulu." Itu terjadi ketika FSB 2018.
Masih banyak cerita lain. Bisa jadi satu buku jika dituliskan. Mudah-mudahan kapan-kapan sempat saya tuliskan lebih rinci. Itu tak lain sebagai catatan sekaligus ruang bercermin dan refleksi, terutama bagi saya sendiri. Syukur-syukur bermanfaat bagi orang lain. Sejarah akan menjadi dongeng jika tidak dituliskan. Sebab, manusia mudah lupa karena ingatannya terbatas.
Satu hal lain patut direnungkan dari kerja-kerja bersama ini: kita tidak mungkin melakukan sebuah kerja penting tanpa keterlibatan dan dukungan orang lain. Bahkan, musuh-musuh kita pun termasuk orang yang mendukung kita dengan cara lain. Adanya musuh bikin kita berjuang lebih keras untuk mengatasinya.
Jangan lupa berterima kasih kepada orang-orang yang telah mendukung kita, bahkan memusuhi kita.
DEPOK, 27 September 2024
MUSTAFA ISMAIL